November 10, 2008

REWRITE [B.O.D.O, Mati Sebelum Mati]

Bila anda akan turun dari angkutan kota, lalu ada 2 uang ribuan, satu masih baru dan yang lainnya agak lepek, mana yang akan anda berikan kepada sopir ?.Bila jawabannya yang masih baru, maka baik. Sebaliknya bila anda menyerahkan yang agak lepek, waspadalah, benih pelit alias medit bin kumed meregehese cap jahe telah ada dalam hati anda, sadar atau tidak sadar. Padahal nilainya sama Rp 1000, tapi ?

Bukan hanya dalam situasi demikian, sifat pelit juga merasuk pada orang-orang ‘alim (berilmu). Repotlah bila demikian. Padahal orang yang berilmu punya 2 kewajiban, 1st mengamalkan, 2nd menyiarkan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Namun ada orang yang beralasan tawadu’ ,belum mau menyiarkan bila belum bisa mengamalkan, ya memang lebih baik bila mengamalkan dulu, tapi bila itu terlalu lama, terus-terusan belum bisa, hal itu juga jelek. Imam Al Ghazaly dalam Bidayah al Hidayah berkata bila orang yang mengetahui suatu ilmu, namun menunda dalam pengamalannya, maka ia hanya menuruti nafsunya, sedangkan “nafsu itu mengajak pada kejelekan”. Setan akan membujuknya agar gelut dengan ilmu dan berbagai ayat, hadits, dan atsar (omongan sahabat) tentang keutamaam ilmu, namun akan terus menunda dalam pengamalannya. Ati-ati coy!. Jadi, kalau udah nyi’arin, ya tinggal ngamalin, dan kalo udah ngamalin, ya tinggal nyi’airin.

Orang bodho itu serba mbuh, serba teu nyaho’ misal ditanya, itu Pak Bupati ngomong apa?, jawabnya embuh. Eh, rumus Momentum sih priben ? jawab : la ya mbuh, mbuh-mbuh terus. Jadi kalo orang seperti ini dipake dimasyarakatnya dimana ?ya mbuh kan -red.
Orang yang tidak tahu / bodho itu dibagi 2 :
Orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, maka ia bertanya bila tidak mengerti / tidak tahu
Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang seperti ini bisa membahayakan dirinya (seperti syair diatas) dan orang lain.

Dalam syair dikatakan bahwa orang bodho sebenarnya sudah mati (tidak manfaat) walau belum meninggal. Contoh kecil, dalam suatu kelas diperintah oleh guru untuk membentuk kelompok, ada saja orang yang ditolak disana-sini karena dianggap merugikan dan gak manfaat. Walaupun ada kelompok yang menerima, orang itu hanya nebeng. Jadi, orang bodho seperti orang mati. Mending orang mati beneran, gak ngerugiin dan gak ngabisin beras. Tapi orang bodho, klayang-kloyong, tetep ngabisin beras. Itu di sekolah luar negeri (swasta), kalau di SMANSA tau sendiri lah.

Sekarang mau nanya, para pembaca ni orang pinter ta orang bodho? J orang he,he,he,he……
Pertanyaan ini bukan untuk dijawab dengan lisan, tapi dengan sikap. Kalau ngrasa belum ‘alim, ya belajar dan nanya ma orang yang ‘alim. Kalau jawab orang pinter, jangan gaya dulu deh, sebab manusia harus tetep cari ilmu sampe mati.

Jadi kesimpulannya, kita harus tetap belajar dan jangan bosen belajar biar gak bodho. Niatnya belajar jangan cari pinter tapi untuk membuang kebodohan (dari Kitab Da’watuttammah). Contoh, ada ahli matematika, segala bisa di itung, limit, trigono, peluang, dll mah bisa, tapi pas ngitung, ada aja yang salah, nah itu dari sifat bodonya. Contoh kayak gini rada usum. Ilmu yang wajib di pelajari yaitu ilmu agama, DAEK, TEU DAEK, KUDU DAEK. Islam bukan hanya membahas shalat, puasa, tapi juga ilmu ekonomi, politik, sains, lan sejene. “AL ISLAMUL LENGKAPU WA KOMFLITU MINAL TEKTEK ILAL BENGEK”, kata Kang Ayip.

rang Indonesia mesti nyari bambu runcing yang hilang, yang bisa ngalahin negara penjajah yang teknologinya lebih hebat, Indonesia bisa kok hebat kaya dulu, asal orang-orangnya juga semangat kaya dulu.
3_orang telah berjasa| komen artikel

A Precedent for President [Kepemimpinan Gaya Mang "Presiden"]

Kali ini kita akan membicarakan “Presiden”, tapi bukan SBY, Obama, atau lainnya. Ini presiden versi lain. Kita tidak membicarakan politik secara njlimet. Tidak pula strategi partai-patai yang berusaha menyedot suara akar rumput. Atau proyek lain untuk “mengobjekkan” rakyat. Kita, yang memang rakyat harus ditempatkan sebagai “subjek.” Maklum, karena rakyat memang tidak suka pamer ilmu, medialah yang memfasilitasi “sound system” mereka. Kehidupan keras nan bersahaja, pemilik kartu “keringanan hisab” ini tampil memberi teladan (precedent).

Dari beribu-ribu jenis tukang, hanya tukang becak yang punya gelar “presiden.” Ia tidak dipilih melalui pemilu berdana milyaran rupiah. Ia independen, tidak ada partai yang mencalonkannya menjadi “presiden.” Malah, tukang becak menjadi objek iming-iming “surga” gombal dari partai. Ajaibnya, masyarakat ikhlas -seikhlas saat buang air besar- mengalungkan gelar ”presiden” kepada tukang beca.

Di Indonesia, yang melanggar hukum kebanyakan adalah para ahli hukum, yang tidak memakai helm adalah anak polisi, dan yang kerap korupsi adalah birokrat tulen dan bisnisman handal. Presidenpun tak luput, ia melanggar peraturan yang dibawahi kekuasaannya.

Tukang becak tahu betul kalau pemimpin adalah panutan bawahan sehingga tukang becak “menyontek” apa yang penguasa perbuat. Tukang becak mendapat gelar presiden karena “kebebasannya” melabrak rambu lalu lintas. Lampu merah tak berlaku baginya, tanda jalan satu jalur akan ciut menghadapinya. Maka kita akan sepakat menjawab, “Tukang becak !”, jika ditanya, “Siapa presidennya jalan ?” maklum, tukang becak memang tidak paham aturan, tak pintar. Jika ia pintar maka tak akan jadi tukang becak, ia akan jadi ilmuwan bahkan presiden betulan. Kitapun memaklumi “kebebasannya”, mereka sudah lelah dengan problem hidup. Dan sepertinya, “kebebasan” itu sedikit menjadi hiburan disela penderitaan hidup.

Sejatinya, seorang pemimpin akan mengusahakan rakyatnya hidup adil dan makmur. Sebelum rakyatnya bisa makan roti, pemimpin makannya singkong, bukan roti. Intinya, kepentingan rakyat adalah tanggung jawab pemimpin. Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad sangat sukses mengambil simpati rakyatnya walaupun tujuan Ahmadinejad klasik dan dipandang terlalu polos -baik oleh orang dalam maupun luar negeri-, yakni menjadikan semua rakyatnya cukup makan. Nyatanya, hal itulah yang dirindukan rakyat. Yang tadinya tak dikenal luas, Ahmadinejad bisa terpilih menjadi presiden Iran. Oo indahnya bila presiden kita mencontoh “Mang Presiden.” Bila presiden kita hidup sesederhana tukang becak, niscaya semua rakyat bakal manut, hormat, dan mencintai pemimpin sekaligus negaranya. Bila ungkapan “Orang yang kenyang akan tersinggung melihat temannya lapar” dilaksanakan presiden, maka rakyat akan “adem” sebab kondisi ketertindasannya mampu ditemani oleh presiden sendiri, ikut prihatin. Dalam bahasa Kiai Sakur Indramayu, “Kalau presidennya makan tempe, lalu kegiatan itu ditayangkan oleh stasiun tv setiap harinya secara live, insya Allah rakyat akan tentram, negara aman.” Dari urusan kecilpun presiden sudah berpatokan rakyat, diharapkan begitu pula pada kebijakan lainnya yang lebih besar. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (Q.S. As Syu’araa : 215).

Pemimpin yang prihatin sudah dibuktikan suksesnya oleh Rasulullah dan khulafaur rasyidin. Di Indonesia juga pernah dicontohkan oleh Ir. Soekarno, lihatlah, rakyat begitu dekat dan mencintai pemimpinnya itu. Di Lapangan Ikada, rakyat dapat berdiri bebas dekat Bung Karno
yang sedang berpidato. Soekarno juga dicintai karena rela dipenjara demi membela rakyat, bukan malah sebaliknya yang memenjarakan rakyat demi kepentingan pribadinya.

Tukang becak punya “precedent for president” bukan hanya karena kesederhanaannya atau karena ia mengerjakan sesuatu. Tapi juga karena ia tidak melakukan sesuatu. Contoh sederhana, di malam hari tukang becak keliling mencari penumpang. Sebuah tindakan yang kurang taktis karena sangat kecil kemungkinannya ada yang mau jadi penumpang di malam hari. Celaka bila tukang becak yang tadinya berniat mencari penumpang, berubah niat jadi menyatroni rumah penduduk buat maling. Untungnya ia tetap sabar, tidak tergiur uang haram yang menanti. Artinya, tukang becak tetap sebagai tauladan karena ia tidak melakukan pencurian. Alangkah asoy pula bila presiden dan pejabat-pejabat negara meniru tingkah polah “mang presiden.” Tidak tergoda melakukan korupsi, penggelapan, intimidasi, dan hal negatif lainnya. Dalam bahasa pemikir terbesar islam abad 20, Muh. Iqbal, “Jadilah kamu laksana Ibrahim, dalam apipun kamu tidak terbakar.” Biarpun kondisi sekitar terus mendorong untuk melakukan hal negatif, tapi tidak terpengaruh dengan itu semua. Sifat ini harus terus dilatih.

Sebagai kisah penutup. Di suatu waktu, tukang becak di Cirebon sedang sepi penumpang, benar-benar sepi. Dan ketika itu, muncul Jarkoni, hendak pergi dari perumnas ke alun-alun (sekitar 5 km), ia menawar dengan harga Rp 2.000,00 saja. Daripada nganggur, tukang becak menerima dengan terpaksa tawaran Jarkoni. Si Jarkoni otomatis senang. Di perjalanan, tukang becak ugal-ugalan, hampir menyerempet ini dan itu, dan puncaknya, sebuah truk hampir menabrak becak. Karena tak tahan, Jarkoni protes pada Mang Becak, “Mang, aja ngebut-ngebut si, bahaya !” Dengan agak jengkel, Mang Becak berkata, “Bayar imung rong ewu pengen selamet ! ” Yah, semoga presiden baru di 2009 nanti hanya meniru sisi baiknya saja dari tukang becak, sisi negatifnya jangan ! [MAA]
0_orang telah berjasa| komen artikel